Sartimin Salah Satu Saksi Sejarah G30S PKI

Eddy Sartimin: Pelaku Sejarah yang Berujar*
Dian Purba
Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu 
ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri. 
Eddy Sartimin
Satu lagi saksi sekaligus pelaku sejarah berujar. Siksaan, stigmatisasi, 
dan semua perlakuan tidak adil dari bangsa yang mereka perjuangkan, 
diceritakan di tulisan ini. Sejarah mononaratif Orde Baru dijejali lewat 
buku-buku sejarah, penataran-penataran, dan segala bentuk indoktrinasi 
yang lain: harus diganti. Diganti dengan sejarah multinaratif. Eddy 
Sartimin sudah mau berbagi. Berbagi ke generasi yang hampir kehilangan 
jejak dengan sejarah bangsanya sendiri. Tongkat estafet pemahaman sejarah
yang benar harus berpindah tangan. Inilah tugas besar bangsa ini, terkusus 
pemuda: menggali dan mencatat sejarah yang sudah terlau lama dibengkokkan.
Terima kasih kepada Dian Purba atas kiriman saksi pelaku sejarah. Semoga: 
"tujuan besarnya untuk anak muda bangsa yang sudah terlalu lama kehilangan 
sejarah dari versi lain."
Salam hormat,
Kolektif Info
Eddy Sartimin: Pelaku Sejarah yang Berujar*
Dian Purba
Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu 
ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri. 
Eddy Sartimin
Satu lagi saksi sekaligus pelaku sejarah berujar. Siksaan, stigmatisasi, 
dan semua perlakuan tidak adil dari bangsa yang mereka perjuangkan, 
diceritakan di tulisan ini. Sejarah mononaratif Orde Baru dijejali lewat 
buku-buku sejarah, penataran-penataran, dan segala bentuk indoktrinasi 
yang lain: harus diganti. Diganti dengan sejarah multinaratif. Eddy 
Sartimin sudah mau berbagi. Berbagi ke generasi yang hampir kehilangan 
jejak dengan sejarah bangsanya sendiri. Tongkat estafet pemahaman sejarah
yang benar harus berpindah tangan. Inilah tugas besar bangsa ini, terkusus 
pemuda: menggali dan mencatat sejarah yang sudah terlau lama dibengkokkan.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarnya apa
yang saya alami selama ditahan sejak dari tanggal 19 September 1967 hingga 
dibebaskan pada tanggal 20 Juli 1978 dan dinyatakan Bebas Murni (Gol B) 
dan KTP/ET/OT tidak bersih lingkungan (anak keturunan), dan dianggap oleh 
rezim Orde Baru Soeharto sebagai warga negara terendah.
Untuk itu saya:
Nam : Eddy Sartimin
Tempat/tanggal lahir : Medan, 22 Agustus 1936
Umur : 71 tahun
Pangkat terakhir : Koptu NRP 330001
Kesatuan : Denma Koanda Sum/Kalbar Pembantu Perbekalan
Pekerjaan sekarang tukang foto amatiran. Beralamat sekarang Jalan 
Kejaksaan Nomor 6 Medan. Menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya kejadian 
yang telah saya alami selama masa tahanan. Ada pun kronologis peristiwa 
tersebut adalah sebagai berikut.
Kronologis
Menjelang dua tahun rezim otoriter meliteristik Soeharto, Orde Baru, dan 
Golkar berkuasa di republik ini, negara melalui sekrining/pembersihan 
terhadap oknum yang ada kaitannya dengan PKI cs dalam tubuh aparatnya TNI, 
Polisi, PNS. Mulai September 1967 diadakan operasi secara kontinu 
(bertahap) ke setiap kesatuan di seluruh wilayah NKRI.
Hampir setiap hari ada saja yang diambil oleh SatGas Intel setiap apel 
pagi. Pada jam, 19.30 WIB datang empat orang dari SatGas Intel yaitu Serma
Ukur Gintings, Koptu Permadi, Koptu Tabroni, Kopda Domeri bertamu ke 
rumah/barak mengajak aku untuk menjumpai DAN YON Para Sum 100. Aku sebagai 
Pasukan Khusus sudah menjadi tradisi sewaktu diperlukan kembali ke induk 
pasukan. Sedikit pun tak merasa curiga, aku dibawa mereka ke Jl. M Yamin, 
SH persimpangan JL. Durian. Setelah turun aku langsung ditodongkan empat 
pucuk senjata, dipaksa menghadap Kapt M. Mawardi selaku Perwira SatGas 
Intel. Belum selesai aku menghadap untuk melapor, pukulan popor senjata 
bertubi-tubi menyerang. Aku coba melawan namun beberapa pukulan mengenai 
kepalaku dan aku jatuh terkulai. Setelah sadar kulihat banyak teman sesame 
kesatuan YON PARA dalam keadaan loyo dan babak belur tanpa pakaian 
(bugil). Kedua tanggannya diikat selama tiga hari tiga malam tanpa diberi 
makan dan minum. Hanya diberikan air leding. Luka-luka yang diderita 
selama di tahanan hanya diberi air ludah basi.
Kami sebanyak 79 orang terdiri dari Bintara, Tamtama. Seorang teman Kopda
Legiman nekat gantung diri karena tak tahan disiksa. Seorang Kopda 
Sujimanto yang paling kecil di antara kami dipress oleh empat oknum SatGas 
hingga keluar tai mudanya. Selama 40 hari kami disekap selama 3x24 jam. 
Harus telanjang bulat. Ini menjadikan mental kami trauma. Bagi yang pernah 
mengalaminya selama bertahun-tahun. Sepuluh orang di antaranya bebas dan 
kembali bertugas dengan syarat tidak boleh menceritakan apa yang pernah 
dialaminya. Dan yang 68 orang diserahkan ke Laksusda Jl. Gandhi. Selama 
tiga bulan disekap dalam kamar gelap bercampur baur dengan warga sipil.
Aku mendengar setiap saat jeritan rintihan dari Tapol karena siksaan dari 
juru periksa. Aku menyaksikan pula dua orang Tapol TNI AD, yaitu Lettu Inf 
Mansyur Ismael dari G I Koanda Sum/Kalbar dan Kapt Trauli Gintings, Wa Dan 
YON Inf 123 ditempatkan dalam WC yang tumpat dengan alas dua kursi dan 
sebelah tangannya digari. Dibuka sewaktu mandi dan makan. Kami makan 
sekali sehari dengan dua ons nasi jagung grontolan, sayur kangkung tanpa 
garam selama 11 tahun. Banyak teman yang busung lapar dan meninggal dunia. 
Kesengsaraan bertambah. Istri yang semula setia akhirnya banyak yang minta 
cerai atau pun lari entah ke mana. Dalam pemeriksaan Laksusda, aku 
dinyatakan aidak punya Golongan X. Semestinya sudah bebas dan kembali 
bertugas di kesatuan semula pada tahun 1972 bersama Golongan C. Namun 
karena ada sedikit perselisihan sama istriku yang sudah tersesat, akhirnya 
aku dikhianatinya dengan menceritakan perihal orang tuanya Sarbupri wajib 
lapor dan saudaraku ada yang diganyang massa sebagai orang PKI.
Itulah yang menjadikan aku kembali ditahan menjadi 11 tahun lamanya tanpa 
diperiksa ulang kebebasan. Di TPU/A Sukamulia tujuh tahun. Sejak 1967 
sampai 1970 dikurung siang malam dalam krangkeng persis binatang buas. 
Bukan tahanan saja yang diperlakukan semena-mena. Termasuk juga bagi 
keluarga yang mengirim mendapat perlakuan tak senonoh. Bila ingin berjumpa 
harus bayar ongkos becak tiga trip. Tapol diambil dari TPU/A Sukamulia 
dibawa ke Laksusda Jl. Gandhi. Dalam keadaan tangan digari, perjumpaan 
hanya setengah jam lalu dikembalikan ke TPU. Selain itu pengawalnua minta 
dibelikan rokok yang mahal. Bagi keluarga yang masih muda dan berparas 
cantik menjadi sasaran pelampiasan nafsu secara halus atau pun intimidasi.
Pada tanggal 16 Agustus 1972 serombongan besar tahanan ABRI/sipil diangkat 
ke TPU/C Tanjung Kassau Asahan (kini Batu Bara). Kami dijual sebagai 
pekerja paksa untuk Proyek Korem. Sebagian di perkebunan Deli Muda untuk
menanam jagung tanpa dibayar kecuali diberi jatah target 100 gawang. 
Banyak di antaranya yang tak bisa, termasuk aku. Rasa putus asa kami nekad 
membakar areal yang baru ditanami pohon karet muda kurang lebih 40Ha. Yang 
berakibat hangus dan matinya selang dua hari sejak kebakaran tersebut. 
Pengawas yang kejam dan arogan itu dipecat dari perkebunan tersebut.
Kembali ke kesatuan semula dari POM Binjai bernama Kopti Rusli diganti 
oleh POM DAM I BB Serma Siagian yang seangkatan dan pernah di kesatuan
Yonif B. Satu bulan kemudian, Tapol ABRI ditarik dari seluruh proyek dan 
kembali ke TPU/C Tanjung Kassau. Walaupun kami masih dalam tahanan, ada 
kelonggaran dalam pengawasan bagi yang berkeluarga. Diperbolehkan bertamu 
nginap dengan bayar Rp 1000. Bagi yang mampu dapat berhari-hari asalkan 
setoran lancar. Bahkan bisa cuti pulang ke rumah.
Di sini nasib kami mulai jauh berubah. Aku punya kegiatan usaha kerajinan 
tangan dari tempurung kelapa. Sudah tidak payah lagi nasi catu. Jagung 
jarang dimakan. Malahan ada kawan yang beternak ayam dan itik. Bagi kaum 
Gerwani ada yang jualan nasi dan kedai kopi selama empat tahun di TPU/C 
Tanjung Kassau.
Berangsur-angsur kami dibebaskan sebagai Tapol tetapi stigma PKI masih 
tetap melekat dengan KTP ET/OT, tidak bersih lingkungan bagi anak 
keturunan untuk nikah dan bekerja sebagai TNI, POLRI, PNS, BUMN, bahkan di 
perusahaan swasta yang dibeking ABRI/TNI AD.
Trauma paranoid selalu menghantui mantan Tapol. Sebagian besar dari 
keluarganya termasuk saudara-saudariku sendiri, anak cucu sampai saat ini 
pun belum mau mengakui bapak dan kakeknya dengan dalih karena aku ditahan. 
Lalu mereka jadi turut sengsara. Tidak boleh nikah dengan ABRI. Tak mampu
melanjutkan sekolah. Apa daya, sedikit pun tak menyangka akan mendapat 
perlakuan yang demikian dari sanak keluarga yang menyayangiku. 
Satu-satunya ibuku yang begitu percaya dan berkeyakinan seluruh masalah 
ini ulahnya Soeharto yang berambisi kekuasaan. Sayangnya ibuku meniggal 
karena sakit setelah keluarnya aku dari tahanan sejak itu.
Semua sinis dan dan bencinya sanak keluarga maupun terang-terangan, 
termasuk ayahku yang takut dikucilkan dari pergailan masyarakat di mana 
kami tinggal.
Kuputuskan tekad untuk secepatnya aku pergi menjauhi mereka dan tidak akan 
kembali kecuali berubah situasi keadaan dengan berbagai cara. Akhirnya aku 
merantau ke Riau. Bekerja sebagai centeng warung remang-remang selama tiga 
tahun pada seorang kawan semasa di Raiders. Setelah dapat KTP Riau aku 
pindah ke Manggala Johson Dusun Arang-arang Bencah Seribu. Aku bekerja 
sebagai buruh bongkar muat balok/loging serta tarik ongkang persis kerbau 
tarik luku. Babat hutan untuk perkebunan sawit. Pernah hampir ketimpa 
pohon lapuk yang tumbang di luar perhitungan karena getaran senso 
(chainsaw) ranting mengenai pelipis sebelah kiri hingga cacat sampai kini. 
Naik sepeda jatuh, masuk jurang dalamnya kira-kira 10 meter.
Di Jambi selama empat tahun. Tanggal 2 Januari 1992 disengat lebah madu 
seluruh badan. Empat jam baru dapat pertolongan kesehatan. Pertolongan 
pertama aku makan mesiu korek api sebanyak 20 batang. Ini pengalaman aku
dapat dari tahanan kriminal. Tanggal 20 Juli 1977 aku pulang karena dapat 
surat dari anakku Susy yang telah menikah dan punya dua orang anak. Aku 
seorang bapak juga seorang kakek terpanggil untuk pulang dengan harapan 
hidup tenteram karena masih ada yang peduli padaku.
Tetapi hanya beberapa bulan saja aku bersama mereka. Ternyata anakku benci 
dengan orang-orang PKI, apalagi bila aku bertamu ke tetangga yang pernah 
jadi wajib lapor/walap. Kami sering bertengkar. Aku berusaha 
menasehatinya. Ia mau mengurusi aku tetapi dengan syarat tak boleh bergaul
dengan eks PKI cs, termasuk pamannya sendiri.
Aku memang yang punya darah pemarah menyimpulkan apa yang kulakukan benar. 
Pada akhirnya ia mengusirku dengan kata-kata, “Ini rumahku. Pergilah dari 
sini.” Sejak itu aku meninggalkan rumah anakku. Aku berpesan sampai kapan
pun tak dapat kumaafkan. Ia lebih suka jadi anak durhaka dan cucuku lebih 
baik jadi jahanam. Mau ngaku bila ada uang Rp 1.000.000. Ini kurasa sudah 
keterlaluan sekali. Tindasan bukan saja dari rejim otoriter. Anak cucu 
sendiri pun berbuat serupa. Justru itu aku pergi dari rumah dan berpindah 
dari satu tempat ke tempat lain hingga kini.
Aku mulai bergabung dengan aktivis PRD dan NGO. Turut menjadi pelopor 
mendirikan PAKORBA YPKD 65/66 bidang advokasi TNI AD. Rasa sedih dan 
traumaku secara bertahap hilang. Aku yang lampau bukanlah aku sekarang dan 
masa mendatang. Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak 
dan cucu ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan 
kiri. Aku tetap tampil di Sumatera Utara ini. Aku satu-satunya mantan 
Tapol TNI AD yang mau turut jadi aktivis prodem. Pernah mendapat 
penghargaan sebagai pejuang rakyat 10 besar dari 14 NGO dan organ dihadiri 
2000 massa tepat pada hari HAM sedunia tanggal 10 Desember 2005 di Medan.
Mantan Tapol G 30 S 65 menyampaikan statement ke DPRD Sumut. Kami diterima 
oleh enam orang dari Komisi A: Golkar, PAN, PBB, Patriot, PP, PBR. Sewaktu
pembacaan sikap KPP HAM 65 tuntutan adili Soeharto. Tiba-tiba saja SIHAMAS 
Muda Siregar dari Golkar menghentikan pembacaan tersebut. Koordinator KPP 
HAM 65 kawan B. Siboro pucat dan gemetar. Kulihat semua kawan diam tak 
bereaksi sedikit pun. Melihat kondisi tersebut si Golkar dengan soknya 
menyatakan, “Dasar tak tahu diuntung. Minta bersih nama kalian orang-orang 
PKI. Pulang saja ke rumah, tak perlu lagi bersih nama dan kompensasi. 
Perbanyak sholat untuk tobat kalian. Sudah tua bangka menunggu……… Kalau 
dulu kalian memang orangtuaku sudah masuk daftar hitam. Lagi pula 
keputusan TAP MPR/25/26 sudah final. Pulang saja,” hardiknya. Lalu memukul 
meja dan tanganya menyuruh kami keluar.
Aku yang melihat keangkungan si Golkar tersebut bangkit dari 
kursi.Kupukulkan meja dengan keras, brak-brak. Sebelum ada reaksi aku 
dengan suara keras menyatakan”aku tidak terima perlakuan DPRD seperti ini.
Aku mantan Tapol TNI AD ditahan 11 tahun tanpa proses hukum. Aku bukan 
anggota kalian, bodoh sebagai anggota DPRD, tidak mengerti UUD 1945, 
sehingga menganggap TAP MPR lebih sakti dari UUD 1945. Sebagai DPR 
semestinya melayani persoalan rakyat suka atau tidak itu menjadi kewajiban 
DPRD. Tahu rakyat yang menggaji kalian.” Entah karena malunya, Ketua 
Komisi A menegur si Golkar dan mempersilahkan melanjutkan pembacaan 
statement, dan kami pun kembali. Sejak itu sampai sekarang si Golkar malu 
bila jumpa aku di waktu demo ke DPRD Sumut. Kupikir cukup data yang 
kusampaikan. Sekian.
Medan, 30 April 2008



Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar