Sartimin Salah Satu Saksi Sejarah G30S PKI
Eddy Sartimin: Pelaku Sejarah yang Berujar*
Dian Purba
Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu
ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri.
Eddy Sartimin
Satu lagi saksi sekaligus pelaku sejarah berujar. Siksaan, stigmatisasi,
dan semua perlakuan tidak adil dari bangsa yang mereka perjuangkan,
diceritakan di tulisan ini. Sejarah mononaratif Orde Baru dijejali lewat
buku-buku sejarah, penataran-penataran, dan segala bentuk indoktrinasi
yang lain: harus diganti. Diganti dengan sejarah multinaratif. Eddy
Sartimin sudah mau berbagi. Berbagi ke generasi yang hampir kehilangan
jejak dengan sejarah bangsanya sendiri. Tongkat estafet pemahaman sejarah
yang benar harus berpindah tangan. Inilah tugas besar bangsa ini, terkusus
pemuda: menggali dan mencatat sejarah yang sudah terlau lama dibengkokkan.
Terima kasih kepada Dian Purba atas kiriman saksi pelaku sejarah. Semoga:
"tujuan besarnya untuk anak muda bangsa yang sudah terlalu lama kehilangan
sejarah dari versi lain."
Salam hormat,
Kolektif Info
Eddy Sartimin: Pelaku Sejarah yang Berujar*
Dian Purba
Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu
ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri.
Eddy Sartimin
Satu lagi saksi sekaligus pelaku sejarah berujar. Siksaan, stigmatisasi,
dan semua perlakuan tidak adil dari bangsa yang mereka perjuangkan,
diceritakan di tulisan ini. Sejarah mononaratif Orde Baru dijejali lewat
buku-buku sejarah, penataran-penataran, dan segala bentuk indoktrinasi
yang lain: harus diganti. Diganti dengan sejarah multinaratif. Eddy
Sartimin sudah mau berbagi. Berbagi ke generasi yang hampir kehilangan
jejak dengan sejarah bangsanya sendiri. Tongkat estafet pemahaman sejarah
yang benar harus berpindah tangan. Inilah tugas besar bangsa ini, terkusus
pemuda: menggali dan mencatat sejarah yang sudah terlau lama dibengkokkan.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarnya apa
yang saya alami selama ditahan sejak dari tanggal 19 September 1967 hingga
dibebaskan pada tanggal 20 Juli 1978 dan dinyatakan Bebas Murni (Gol B)
dan KTP/ET/OT tidak bersih lingkungan (anak keturunan), dan dianggap oleh
rezim Orde Baru Soeharto sebagai warga negara terendah.
Untuk itu saya:
Nam : Eddy Sartimin
Tempat/tanggal lahir : Medan, 22 Agustus 1936
Umur : 71 tahun
Pangkat terakhir : Koptu NRP 330001
Kesatuan : Denma Koanda Sum/Kalbar Pembantu Perbekalan
Pekerjaan sekarang tukang foto amatiran. Beralamat sekarang Jalan
Kejaksaan Nomor 6 Medan. Menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya kejadian
yang telah saya alami selama masa tahanan. Ada pun kronologis peristiwa
tersebut adalah sebagai berikut.
Kronologis
Menjelang dua tahun rezim otoriter meliteristik Soeharto, Orde Baru, dan
Golkar berkuasa di republik ini, negara melalui sekrining/pembersihan
terhadap oknum yang ada kaitannya dengan PKI cs dalam tubuh aparatnya TNI,
Polisi, PNS. Mulai September 1967 diadakan operasi secara kontinu
(bertahap) ke setiap kesatuan di seluruh wilayah NKRI.
Hampir setiap hari ada saja yang diambil oleh SatGas Intel setiap apel
pagi. Pada jam, 19.30 WIB datang empat orang dari SatGas Intel yaitu Serma
Ukur Gintings, Koptu Permadi, Koptu Tabroni, Kopda Domeri bertamu ke
rumah/barak mengajak aku untuk menjumpai DAN YON Para Sum 100. Aku sebagai
Pasukan Khusus sudah menjadi tradisi sewaktu diperlukan kembali ke induk
pasukan. Sedikit pun tak merasa curiga, aku dibawa mereka ke Jl. M Yamin,
SH persimpangan JL. Durian. Setelah turun aku langsung ditodongkan empat
pucuk senjata, dipaksa menghadap Kapt M. Mawardi selaku Perwira SatGas
Intel. Belum selesai aku menghadap untuk melapor, pukulan popor senjata
bertubi-tubi menyerang. Aku coba melawan namun beberapa pukulan mengenai
kepalaku dan aku jatuh terkulai. Setelah sadar kulihat banyak teman sesame
kesatuan YON PARA dalam keadaan loyo dan babak belur tanpa pakaian
(bugil). Kedua tanggannya diikat selama tiga hari tiga malam tanpa diberi
makan dan minum. Hanya diberikan air leding. Luka-luka yang diderita
selama di tahanan hanya diberi air ludah basi.
Kami sebanyak 79 orang terdiri dari Bintara, Tamtama. Seorang teman Kopda
Legiman nekat gantung diri karena tak tahan disiksa. Seorang Kopda
Sujimanto yang paling kecil di antara kami dipress oleh empat oknum SatGas
hingga keluar tai mudanya. Selama 40 hari kami disekap selama 3x24 jam.
Harus telanjang bulat. Ini menjadikan mental kami trauma. Bagi yang pernah
mengalaminya selama bertahun-tahun. Sepuluh orang di antaranya bebas dan
kembali bertugas dengan syarat tidak boleh menceritakan apa yang pernah
dialaminya. Dan yang 68 orang diserahkan ke Laksusda Jl. Gandhi. Selama
tiga bulan disekap dalam kamar gelap bercampur baur dengan warga sipil.
Aku mendengar setiap saat jeritan rintihan dari Tapol karena siksaan dari
juru periksa. Aku menyaksikan pula dua orang Tapol TNI AD, yaitu Lettu Inf
Mansyur Ismael dari G I Koanda Sum/Kalbar dan Kapt Trauli Gintings, Wa Dan
YON Inf 123 ditempatkan dalam WC yang tumpat dengan alas dua kursi dan
sebelah tangannya digari. Dibuka sewaktu mandi dan makan. Kami makan
sekali sehari dengan dua ons nasi jagung grontolan, sayur kangkung tanpa
garam selama 11 tahun. Banyak teman yang busung lapar dan meninggal dunia.
Kesengsaraan bertambah. Istri yang semula setia akhirnya banyak yang minta
cerai atau pun lari entah ke mana. Dalam pemeriksaan Laksusda, aku
dinyatakan aidak punya Golongan X. Semestinya sudah bebas dan kembali
bertugas di kesatuan semula pada tahun 1972 bersama Golongan C. Namun
karena ada sedikit perselisihan sama istriku yang sudah tersesat, akhirnya
aku dikhianatinya dengan menceritakan perihal orang tuanya Sarbupri wajib
lapor dan saudaraku ada yang diganyang massa sebagai orang PKI.
Itulah yang menjadikan aku kembali ditahan menjadi 11 tahun lamanya tanpa
diperiksa ulang kebebasan. Di TPU/A Sukamulia tujuh tahun. Sejak 1967
sampai 1970 dikurung siang malam dalam krangkeng persis binatang buas.
Bukan tahanan saja yang diperlakukan semena-mena. Termasuk juga bagi
keluarga yang mengirim mendapat perlakuan tak senonoh. Bila ingin berjumpa
harus bayar ongkos becak tiga trip. Tapol diambil dari TPU/A Sukamulia
dibawa ke Laksusda Jl. Gandhi. Dalam keadaan tangan digari, perjumpaan
hanya setengah jam lalu dikembalikan ke TPU. Selain itu pengawalnua minta
dibelikan rokok yang mahal. Bagi keluarga yang masih muda dan berparas
cantik menjadi sasaran pelampiasan nafsu secara halus atau pun intimidasi.
Pada tanggal 16 Agustus 1972 serombongan besar tahanan ABRI/sipil diangkat
ke TPU/C Tanjung Kassau Asahan (kini Batu Bara). Kami dijual sebagai
pekerja paksa untuk Proyek Korem. Sebagian di perkebunan Deli Muda untuk
menanam jagung tanpa dibayar kecuali diberi jatah target 100 gawang.
Banyak di antaranya yang tak bisa, termasuk aku. Rasa putus asa kami nekad
membakar areal yang baru ditanami pohon karet muda kurang lebih 40Ha. Yang
berakibat hangus dan matinya selang dua hari sejak kebakaran tersebut.
Pengawas yang kejam dan arogan itu dipecat dari perkebunan tersebut.
Kembali ke kesatuan semula dari POM Binjai bernama Kopti Rusli diganti
oleh POM DAM I BB Serma Siagian yang seangkatan dan pernah di kesatuan
Yonif B. Satu bulan kemudian, Tapol ABRI ditarik dari seluruh proyek dan
kembali ke TPU/C Tanjung Kassau. Walaupun kami masih dalam tahanan, ada
kelonggaran dalam pengawasan bagi yang berkeluarga. Diperbolehkan bertamu
nginap dengan bayar Rp 1000. Bagi yang mampu dapat berhari-hari asalkan
setoran lancar. Bahkan bisa cuti pulang ke rumah.
Di sini nasib kami mulai jauh berubah. Aku punya kegiatan usaha kerajinan
tangan dari tempurung kelapa. Sudah tidak payah lagi nasi catu. Jagung
jarang dimakan. Malahan ada kawan yang beternak ayam dan itik. Bagi kaum
Gerwani ada yang jualan nasi dan kedai kopi selama empat tahun di TPU/C
Tanjung Kassau.
Berangsur-angsur kami dibebaskan sebagai Tapol tetapi stigma PKI masih
tetap melekat dengan KTP ET/OT, tidak bersih lingkungan bagi anak
keturunan untuk nikah dan bekerja sebagai TNI, POLRI, PNS, BUMN, bahkan di
perusahaan swasta yang dibeking ABRI/TNI AD.
Trauma paranoid selalu menghantui mantan Tapol. Sebagian besar dari
keluarganya termasuk saudara-saudariku sendiri, anak cucu sampai saat ini
pun belum mau mengakui bapak dan kakeknya dengan dalih karena aku ditahan.
Lalu mereka jadi turut sengsara. Tidak boleh nikah dengan ABRI. Tak mampu
melanjutkan sekolah. Apa daya, sedikit pun tak menyangka akan mendapat
perlakuan yang demikian dari sanak keluarga yang menyayangiku.
Satu-satunya ibuku yang begitu percaya dan berkeyakinan seluruh masalah
ini ulahnya Soeharto yang berambisi kekuasaan. Sayangnya ibuku meniggal
karena sakit setelah keluarnya aku dari tahanan sejak itu.
Semua sinis dan dan bencinya sanak keluarga maupun terang-terangan,
termasuk ayahku yang takut dikucilkan dari pergailan masyarakat di mana
kami tinggal.
Kuputuskan tekad untuk secepatnya aku pergi menjauhi mereka dan tidak akan
kembali kecuali berubah situasi keadaan dengan berbagai cara. Akhirnya aku
merantau ke Riau. Bekerja sebagai centeng warung remang-remang selama tiga
tahun pada seorang kawan semasa di Raiders. Setelah dapat KTP Riau aku
pindah ke Manggala Johson Dusun Arang-arang Bencah Seribu. Aku bekerja
sebagai buruh bongkar muat balok/loging serta tarik ongkang persis kerbau
tarik luku. Babat hutan untuk perkebunan sawit. Pernah hampir ketimpa
pohon lapuk yang tumbang di luar perhitungan karena getaran senso
(chainsaw) ranting mengenai pelipis sebelah kiri hingga cacat sampai kini.
Naik sepeda jatuh, masuk jurang dalamnya kira-kira 10 meter.
Di Jambi selama empat tahun. Tanggal 2 Januari 1992 disengat lebah madu
seluruh badan. Empat jam baru dapat pertolongan kesehatan. Pertolongan
pertama aku makan mesiu korek api sebanyak 20 batang. Ini pengalaman aku
dapat dari tahanan kriminal. Tanggal 20 Juli 1977 aku pulang karena dapat
surat dari anakku Susy yang telah menikah dan punya dua orang anak. Aku
seorang bapak juga seorang kakek terpanggil untuk pulang dengan harapan
hidup tenteram karena masih ada yang peduli padaku.
Tetapi hanya beberapa bulan saja aku bersama mereka. Ternyata anakku benci
dengan orang-orang PKI, apalagi bila aku bertamu ke tetangga yang pernah
jadi wajib lapor/walap. Kami sering bertengkar. Aku berusaha
menasehatinya. Ia mau mengurusi aku tetapi dengan syarat tak boleh bergaul
dengan eks PKI cs, termasuk pamannya sendiri.
Aku memang yang punya darah pemarah menyimpulkan apa yang kulakukan benar.
Pada akhirnya ia mengusirku dengan kata-kata, “Ini rumahku. Pergilah dari
sini.” Sejak itu aku meninggalkan rumah anakku. Aku berpesan sampai kapan
pun tak dapat kumaafkan. Ia lebih suka jadi anak durhaka dan cucuku lebih
baik jadi jahanam. Mau ngaku bila ada uang Rp 1.000.000. Ini kurasa sudah
keterlaluan sekali. Tindasan bukan saja dari rejim otoriter. Anak cucu
sendiri pun berbuat serupa. Justru itu aku pergi dari rumah dan berpindah
dari satu tempat ke tempat lain hingga kini.
Aku mulai bergabung dengan aktivis PRD dan NGO. Turut menjadi pelopor
mendirikan PAKORBA YPKD 65/66 bidang advokasi TNI AD. Rasa sedih dan
traumaku secara bertahap hilang. Aku yang lampau bukanlah aku sekarang dan
masa mendatang. Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak
dan cucu ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan
kiri. Aku tetap tampil di Sumatera Utara ini. Aku satu-satunya mantan
Tapol TNI AD yang mau turut jadi aktivis prodem. Pernah mendapat
penghargaan sebagai pejuang rakyat 10 besar dari 14 NGO dan organ dihadiri
2000 massa tepat pada hari HAM sedunia tanggal 10 Desember 2005 di Medan.
Mantan Tapol G 30 S 65 menyampaikan statement ke DPRD Sumut. Kami diterima
oleh enam orang dari Komisi A: Golkar, PAN, PBB, Patriot, PP, PBR. Sewaktu
pembacaan sikap KPP HAM 65 tuntutan adili Soeharto. Tiba-tiba saja SIHAMAS
Muda Siregar dari Golkar menghentikan pembacaan tersebut. Koordinator KPP
HAM 65 kawan B. Siboro pucat dan gemetar. Kulihat semua kawan diam tak
bereaksi sedikit pun. Melihat kondisi tersebut si Golkar dengan soknya
menyatakan, “Dasar tak tahu diuntung. Minta bersih nama kalian orang-orang
PKI. Pulang saja ke rumah, tak perlu lagi bersih nama dan kompensasi.
Perbanyak sholat untuk tobat kalian. Sudah tua bangka menunggu……… Kalau
dulu kalian memang orangtuaku sudah masuk daftar hitam. Lagi pula
keputusan TAP MPR/25/26 sudah final. Pulang saja,” hardiknya. Lalu memukul
meja dan tanganya menyuruh kami keluar.
Aku yang melihat keangkungan si Golkar tersebut bangkit dari
kursi.Kupukulkan meja dengan keras, brak-brak. Sebelum ada reaksi aku
dengan suara keras menyatakan”aku tidak terima perlakuan DPRD seperti ini.
Aku mantan Tapol TNI AD ditahan 11 tahun tanpa proses hukum. Aku bukan
anggota kalian, bodoh sebagai anggota DPRD, tidak mengerti UUD 1945,
sehingga menganggap TAP MPR lebih sakti dari UUD 1945. Sebagai DPR
semestinya melayani persoalan rakyat suka atau tidak itu menjadi kewajiban
DPRD. Tahu rakyat yang menggaji kalian.” Entah karena malunya, Ketua
Komisi A menegur si Golkar dan mempersilahkan melanjutkan pembacaan
statement, dan kami pun kembali. Sejak itu sampai sekarang si Golkar malu
bila jumpa aku di waktu demo ke DPRD Sumut. Kupikir cukup data yang
kusampaikan. Sekian.
Medan, 30 April 2008
Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu
ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri.
Eddy Sartimin
Satu lagi saksi sekaligus pelaku sejarah berujar. Siksaan, stigmatisasi,
dan semua perlakuan tidak adil dari bangsa yang mereka perjuangkan,
diceritakan di tulisan ini. Sejarah mononaratif Orde Baru dijejali lewat
buku-buku sejarah, penataran-penataran, dan segala bentuk indoktrinasi
yang lain: harus diganti. Diganti dengan sejarah multinaratif. Eddy
Sartimin sudah mau berbagi. Berbagi ke generasi yang hampir kehilangan
jejak dengan sejarah bangsanya sendiri. Tongkat estafet pemahaman sejarah
yang benar harus berpindah tangan. Inilah tugas besar bangsa ini, terkusus
pemuda: menggali dan mencatat sejarah yang sudah terlau lama dibengkokkan.
Terima kasih kepada Dian Purba atas kiriman saksi pelaku sejarah. Semoga:
"tujuan besarnya untuk anak muda bangsa yang sudah terlalu lama kehilangan
sejarah dari versi lain."
Salam hormat,
Kolektif Info
Eddy Sartimin: Pelaku Sejarah yang Berujar*
Dian Purba
Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak dan cucu
ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan kiri.
Eddy Sartimin
Satu lagi saksi sekaligus pelaku sejarah berujar. Siksaan, stigmatisasi,
dan semua perlakuan tidak adil dari bangsa yang mereka perjuangkan,
diceritakan di tulisan ini. Sejarah mononaratif Orde Baru dijejali lewat
buku-buku sejarah, penataran-penataran, dan segala bentuk indoktrinasi
yang lain: harus diganti. Diganti dengan sejarah multinaratif. Eddy
Sartimin sudah mau berbagi. Berbagi ke generasi yang hampir kehilangan
jejak dengan sejarah bangsanya sendiri. Tongkat estafet pemahaman sejarah
yang benar harus berpindah tangan. Inilah tugas besar bangsa ini, terkusus
pemuda: menggali dan mencatat sejarah yang sudah terlau lama dibengkokkan.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarnya apa
yang saya alami selama ditahan sejak dari tanggal 19 September 1967 hingga
dibebaskan pada tanggal 20 Juli 1978 dan dinyatakan Bebas Murni (Gol B)
dan KTP/ET/OT tidak bersih lingkungan (anak keturunan), dan dianggap oleh
rezim Orde Baru Soeharto sebagai warga negara terendah.
Untuk itu saya:
Nam : Eddy Sartimin
Tempat/tanggal lahir : Medan, 22 Agustus 1936
Umur : 71 tahun
Pangkat terakhir : Koptu NRP 330001
Kesatuan : Denma Koanda Sum/Kalbar Pembantu Perbekalan
Pekerjaan sekarang tukang foto amatiran. Beralamat sekarang Jalan
Kejaksaan Nomor 6 Medan. Menyatakan dengan sesungguh-sungguhnya kejadian
yang telah saya alami selama masa tahanan. Ada pun kronologis peristiwa
tersebut adalah sebagai berikut.
Kronologis
Menjelang dua tahun rezim otoriter meliteristik Soeharto, Orde Baru, dan
Golkar berkuasa di republik ini, negara melalui sekrining/pembersihan
terhadap oknum yang ada kaitannya dengan PKI cs dalam tubuh aparatnya TNI,
Polisi, PNS. Mulai September 1967 diadakan operasi secara kontinu
(bertahap) ke setiap kesatuan di seluruh wilayah NKRI.
Hampir setiap hari ada saja yang diambil oleh SatGas Intel setiap apel
pagi. Pada jam, 19.30 WIB datang empat orang dari SatGas Intel yaitu Serma
Ukur Gintings, Koptu Permadi, Koptu Tabroni, Kopda Domeri bertamu ke
rumah/barak mengajak aku untuk menjumpai DAN YON Para Sum 100. Aku sebagai
Pasukan Khusus sudah menjadi tradisi sewaktu diperlukan kembali ke induk
pasukan. Sedikit pun tak merasa curiga, aku dibawa mereka ke Jl. M Yamin,
SH persimpangan JL. Durian. Setelah turun aku langsung ditodongkan empat
pucuk senjata, dipaksa menghadap Kapt M. Mawardi selaku Perwira SatGas
Intel. Belum selesai aku menghadap untuk melapor, pukulan popor senjata
bertubi-tubi menyerang. Aku coba melawan namun beberapa pukulan mengenai
kepalaku dan aku jatuh terkulai. Setelah sadar kulihat banyak teman sesame
kesatuan YON PARA dalam keadaan loyo dan babak belur tanpa pakaian
(bugil). Kedua tanggannya diikat selama tiga hari tiga malam tanpa diberi
makan dan minum. Hanya diberikan air leding. Luka-luka yang diderita
selama di tahanan hanya diberi air ludah basi.
Kami sebanyak 79 orang terdiri dari Bintara, Tamtama. Seorang teman Kopda
Legiman nekat gantung diri karena tak tahan disiksa. Seorang Kopda
Sujimanto yang paling kecil di antara kami dipress oleh empat oknum SatGas
hingga keluar tai mudanya. Selama 40 hari kami disekap selama 3x24 jam.
Harus telanjang bulat. Ini menjadikan mental kami trauma. Bagi yang pernah
mengalaminya selama bertahun-tahun. Sepuluh orang di antaranya bebas dan
kembali bertugas dengan syarat tidak boleh menceritakan apa yang pernah
dialaminya. Dan yang 68 orang diserahkan ke Laksusda Jl. Gandhi. Selama
tiga bulan disekap dalam kamar gelap bercampur baur dengan warga sipil.
Aku mendengar setiap saat jeritan rintihan dari Tapol karena siksaan dari
juru periksa. Aku menyaksikan pula dua orang Tapol TNI AD, yaitu Lettu Inf
Mansyur Ismael dari G I Koanda Sum/Kalbar dan Kapt Trauli Gintings, Wa Dan
YON Inf 123 ditempatkan dalam WC yang tumpat dengan alas dua kursi dan
sebelah tangannya digari. Dibuka sewaktu mandi dan makan. Kami makan
sekali sehari dengan dua ons nasi jagung grontolan, sayur kangkung tanpa
garam selama 11 tahun. Banyak teman yang busung lapar dan meninggal dunia.
Kesengsaraan bertambah. Istri yang semula setia akhirnya banyak yang minta
cerai atau pun lari entah ke mana. Dalam pemeriksaan Laksusda, aku
dinyatakan aidak punya Golongan X. Semestinya sudah bebas dan kembali
bertugas di kesatuan semula pada tahun 1972 bersama Golongan C. Namun
karena ada sedikit perselisihan sama istriku yang sudah tersesat, akhirnya
aku dikhianatinya dengan menceritakan perihal orang tuanya Sarbupri wajib
lapor dan saudaraku ada yang diganyang massa sebagai orang PKI.
Itulah yang menjadikan aku kembali ditahan menjadi 11 tahun lamanya tanpa
diperiksa ulang kebebasan. Di TPU/A Sukamulia tujuh tahun. Sejak 1967
sampai 1970 dikurung siang malam dalam krangkeng persis binatang buas.
Bukan tahanan saja yang diperlakukan semena-mena. Termasuk juga bagi
keluarga yang mengirim mendapat perlakuan tak senonoh. Bila ingin berjumpa
harus bayar ongkos becak tiga trip. Tapol diambil dari TPU/A Sukamulia
dibawa ke Laksusda Jl. Gandhi. Dalam keadaan tangan digari, perjumpaan
hanya setengah jam lalu dikembalikan ke TPU. Selain itu pengawalnua minta
dibelikan rokok yang mahal. Bagi keluarga yang masih muda dan berparas
cantik menjadi sasaran pelampiasan nafsu secara halus atau pun intimidasi.
Pada tanggal 16 Agustus 1972 serombongan besar tahanan ABRI/sipil diangkat
ke TPU/C Tanjung Kassau Asahan (kini Batu Bara). Kami dijual sebagai
pekerja paksa untuk Proyek Korem. Sebagian di perkebunan Deli Muda untuk
menanam jagung tanpa dibayar kecuali diberi jatah target 100 gawang.
Banyak di antaranya yang tak bisa, termasuk aku. Rasa putus asa kami nekad
membakar areal yang baru ditanami pohon karet muda kurang lebih 40Ha. Yang
berakibat hangus dan matinya selang dua hari sejak kebakaran tersebut.
Pengawas yang kejam dan arogan itu dipecat dari perkebunan tersebut.
Kembali ke kesatuan semula dari POM Binjai bernama Kopti Rusli diganti
oleh POM DAM I BB Serma Siagian yang seangkatan dan pernah di kesatuan
Yonif B. Satu bulan kemudian, Tapol ABRI ditarik dari seluruh proyek dan
kembali ke TPU/C Tanjung Kassau. Walaupun kami masih dalam tahanan, ada
kelonggaran dalam pengawasan bagi yang berkeluarga. Diperbolehkan bertamu
nginap dengan bayar Rp 1000. Bagi yang mampu dapat berhari-hari asalkan
setoran lancar. Bahkan bisa cuti pulang ke rumah.
Di sini nasib kami mulai jauh berubah. Aku punya kegiatan usaha kerajinan
tangan dari tempurung kelapa. Sudah tidak payah lagi nasi catu. Jagung
jarang dimakan. Malahan ada kawan yang beternak ayam dan itik. Bagi kaum
Gerwani ada yang jualan nasi dan kedai kopi selama empat tahun di TPU/C
Tanjung Kassau.
Berangsur-angsur kami dibebaskan sebagai Tapol tetapi stigma PKI masih
tetap melekat dengan KTP ET/OT, tidak bersih lingkungan bagi anak
keturunan untuk nikah dan bekerja sebagai TNI, POLRI, PNS, BUMN, bahkan di
perusahaan swasta yang dibeking ABRI/TNI AD.
Trauma paranoid selalu menghantui mantan Tapol. Sebagian besar dari
keluarganya termasuk saudara-saudariku sendiri, anak cucu sampai saat ini
pun belum mau mengakui bapak dan kakeknya dengan dalih karena aku ditahan.
Lalu mereka jadi turut sengsara. Tidak boleh nikah dengan ABRI. Tak mampu
melanjutkan sekolah. Apa daya, sedikit pun tak menyangka akan mendapat
perlakuan yang demikian dari sanak keluarga yang menyayangiku.
Satu-satunya ibuku yang begitu percaya dan berkeyakinan seluruh masalah
ini ulahnya Soeharto yang berambisi kekuasaan. Sayangnya ibuku meniggal
karena sakit setelah keluarnya aku dari tahanan sejak itu.
Semua sinis dan dan bencinya sanak keluarga maupun terang-terangan,
termasuk ayahku yang takut dikucilkan dari pergailan masyarakat di mana
kami tinggal.
Kuputuskan tekad untuk secepatnya aku pergi menjauhi mereka dan tidak akan
kembali kecuali berubah situasi keadaan dengan berbagai cara. Akhirnya aku
merantau ke Riau. Bekerja sebagai centeng warung remang-remang selama tiga
tahun pada seorang kawan semasa di Raiders. Setelah dapat KTP Riau aku
pindah ke Manggala Johson Dusun Arang-arang Bencah Seribu. Aku bekerja
sebagai buruh bongkar muat balok/loging serta tarik ongkang persis kerbau
tarik luku. Babat hutan untuk perkebunan sawit. Pernah hampir ketimpa
pohon lapuk yang tumbang di luar perhitungan karena getaran senso
(chainsaw) ranting mengenai pelipis sebelah kiri hingga cacat sampai kini.
Naik sepeda jatuh, masuk jurang dalamnya kira-kira 10 meter.
Di Jambi selama empat tahun. Tanggal 2 Januari 1992 disengat lebah madu
seluruh badan. Empat jam baru dapat pertolongan kesehatan. Pertolongan
pertama aku makan mesiu korek api sebanyak 20 batang. Ini pengalaman aku
dapat dari tahanan kriminal. Tanggal 20 Juli 1977 aku pulang karena dapat
surat dari anakku Susy yang telah menikah dan punya dua orang anak. Aku
seorang bapak juga seorang kakek terpanggil untuk pulang dengan harapan
hidup tenteram karena masih ada yang peduli padaku.
Tetapi hanya beberapa bulan saja aku bersama mereka. Ternyata anakku benci
dengan orang-orang PKI, apalagi bila aku bertamu ke tetangga yang pernah
jadi wajib lapor/walap. Kami sering bertengkar. Aku berusaha
menasehatinya. Ia mau mengurusi aku tetapi dengan syarat tak boleh bergaul
dengan eks PKI cs, termasuk pamannya sendiri.
Aku memang yang punya darah pemarah menyimpulkan apa yang kulakukan benar.
Pada akhirnya ia mengusirku dengan kata-kata, “Ini rumahku. Pergilah dari
sini.” Sejak itu aku meninggalkan rumah anakku. Aku berpesan sampai kapan
pun tak dapat kumaafkan. Ia lebih suka jadi anak durhaka dan cucuku lebih
baik jadi jahanam. Mau ngaku bila ada uang Rp 1.000.000. Ini kurasa sudah
keterlaluan sekali. Tindasan bukan saja dari rejim otoriter. Anak cucu
sendiri pun berbuat serupa. Justru itu aku pergi dari rumah dan berpindah
dari satu tempat ke tempat lain hingga kini.
Aku mulai bergabung dengan aktivis PRD dan NGO. Turut menjadi pelopor
mendirikan PAKORBA YPKD 65/66 bidang advokasi TNI AD. Rasa sedih dan
traumaku secara bertahap hilang. Aku yang lampau bukanlah aku sekarang dan
masa mendatang. Anak dan cucu biologi hilang bersama munculnya anak-anak
dan cucu ideologi. Inilah yang menjadikan aku tambah gairah dalam gerakan
kiri. Aku tetap tampil di Sumatera Utara ini. Aku satu-satunya mantan
Tapol TNI AD yang mau turut jadi aktivis prodem. Pernah mendapat
penghargaan sebagai pejuang rakyat 10 besar dari 14 NGO dan organ dihadiri
2000 massa tepat pada hari HAM sedunia tanggal 10 Desember 2005 di Medan.
Mantan Tapol G 30 S 65 menyampaikan statement ke DPRD Sumut. Kami diterima
oleh enam orang dari Komisi A: Golkar, PAN, PBB, Patriot, PP, PBR. Sewaktu
pembacaan sikap KPP HAM 65 tuntutan adili Soeharto. Tiba-tiba saja SIHAMAS
Muda Siregar dari Golkar menghentikan pembacaan tersebut. Koordinator KPP
HAM 65 kawan B. Siboro pucat dan gemetar. Kulihat semua kawan diam tak
bereaksi sedikit pun. Melihat kondisi tersebut si Golkar dengan soknya
menyatakan, “Dasar tak tahu diuntung. Minta bersih nama kalian orang-orang
PKI. Pulang saja ke rumah, tak perlu lagi bersih nama dan kompensasi.
Perbanyak sholat untuk tobat kalian. Sudah tua bangka menunggu……… Kalau
dulu kalian memang orangtuaku sudah masuk daftar hitam. Lagi pula
keputusan TAP MPR/25/26 sudah final. Pulang saja,” hardiknya. Lalu memukul
meja dan tanganya menyuruh kami keluar.
Aku yang melihat keangkungan si Golkar tersebut bangkit dari
kursi.Kupukulkan meja dengan keras, brak-brak. Sebelum ada reaksi aku
dengan suara keras menyatakan”aku tidak terima perlakuan DPRD seperti ini.
Aku mantan Tapol TNI AD ditahan 11 tahun tanpa proses hukum. Aku bukan
anggota kalian, bodoh sebagai anggota DPRD, tidak mengerti UUD 1945,
sehingga menganggap TAP MPR lebih sakti dari UUD 1945. Sebagai DPR
semestinya melayani persoalan rakyat suka atau tidak itu menjadi kewajiban
DPRD. Tahu rakyat yang menggaji kalian.” Entah karena malunya, Ketua
Komisi A menegur si Golkar dan mempersilahkan melanjutkan pembacaan
statement, dan kami pun kembali. Sejak itu sampai sekarang si Golkar malu
bila jumpa aku di waktu demo ke DPRD Sumut. Kupikir cukup data yang
kusampaikan. Sekian.
Medan, 30 April 2008